WahanaNews-Babel | Beredarnya salinan yang dianggap sebagai Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) di masyarakat menimbulkan berbagai polemik, termasuk yang terbaru adalah anggapan dihilangkannya kata ‘madrasah’ pada RUU Tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf mengungkapkan bahwa Komisi X DPR RI belum pernah mendapatkan salinan draf RUU Sisdiknas dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Meski begitu, ia tidak menampik pihaknya pernah berkomunikasi dengan Kemendikbudristek terkait dengan RUU ini.
Baca Juga:
Persatuan Guru Minta Dilibatkan dalam Pembahasan RUU Sisdiknas
“RUU Sisdiknas pernah kita bicarakan saat itu. Jika ingin mengubah kurikulum, jika ingin mengubah konsep sesuai dengan 4.0 atau 5.0, maka undang-undang memang harus kita ubah dan undang-undang itu adalah mengikuti perkembangan zaman. Karena (UU Sisdiknas) sejak 2003 kalau diurut-urut memang waktunya sudah harus kita ubah. Tetapi untuk mengubah harus ada proses yang kita jalani. Nah proses-proses ini memang kita sampaikan kepada Kemendikbud bahwa tolong diperhatikan baik-baik karena kalau mau masuk prolegnas prosesnya panjang,” jelas Dede saat menjadi pembicara pada diskusi Forum Legislasi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022). Turut hadir sebagai narasumber, Anggota Komisi X DPR RI Muhammad Kadafi.
Pada diskusi bertajuk ‘RUU Sisdiknas dan Masa Depan Pendidikan Indonesia’ tersebut, politisi Partai Demokrat ini menegaskan bahwa RUU Sisdiknas harus dikomunikasikan langsung dengan dunia pendidikan.
UU Sisdiknas yang sedang hangat dibicarakan ini merupakan omnibus law bagi dunia pendidikan karena menaungi beberapa undang-undang seperti UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Baca Juga:
Soal RUU Sisdiknas, Nadiem: Peran Kampus Diperbesar
“Segera kami minta dari Kemendikbud karena ini usulan pemerintah harus segera melakukan yang disebut sebagai komunikasi publik dengan stakeholder pendidikan, dan stakeholder pendidikan bukan hanya Komisi X. Stakeholder pendidikan adalah dunia pendidikan,” tegas legislator dari daerah pemilihan Jawa Barat II tersebut.
Dede juga mengungkapkan draf RUU tersebut baru bisa disebut sebagai dokumen resmi apabila telah masuk ke Komisi X maupun Badan Legislasi DPR RI. Ia berpendapat kemungkinan draf RUU Sisdiknas yang beredar di masyarakat masih merupakan draf uji coba.
“Komisi X menganggap ini baru semacam testing the water dan ketika testing the water mestinya dilakukan naskah akademik yang dilakukan uji publik. Nah uji publik yang seperti apa kami belum tahu dan kami belum pernah mendapatkan apapun,” ungkap Dede.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Muhammad Kadafi menginginkan penyusunan RUU Sisdiknas dapat dilakukan sesuai dengan proses dan tahapan yang berlaku.
“Mudah-mudahan nantinya jika memang tetap pemerintah mendorong RUU Sisdiknas akan diproses di tahun ini, ya kita kawal bersama. Dilakukan proses yang baik, para teman-teman entitas-entitas pendidikan itu diajak bersama. Ayo berpikir bersama. Kita merenung, kita merefleksikan apa yang bisa kita ubah, apa yang bisa kita dorong untuk kemajuan pendidikan Indonesia yang akan datang,” ungkap politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Kadafi juga menyinggung adanya bonus demografi yang sedang terjadi di Indonesia. Menurutnya sistem pendidikan harus bisa mengakomodir tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa depan sehingga Indonesia bisa menciptakan lompatan besar.
Legislator dapil Lampung I ini juga berharap dengan sistem pendidikan dan kurikulum yang dipersiapkan dengan baik maka tidak ada lagi kesenjangan antara pendidikan di kota besar dan pedesaan serta disparitas bagi sekolah di bawah Kemendikbudristek dan Kemenag. [dny]