WahanaNews-Babel | Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi dikenal sebagai organisasi advokat, yang sejarah berdirinya melalui proses cukup panjang.
Secara histrois, Kelahiran Peradi tak terlepas dari peran berbagai organisasi profesi advokat sebelumnya, seperti Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), serta Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI).
Baca Juga:
Otto Hasibuan Tolak Putusan Mahkamah Konstitusi
Selain itu, ada juga Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Organisasi-organisasi advokat yang sudah ada sebelumnya sepakat membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) pada 16 Juni 2003.
KKAI inilah yang nantinya membidani kelahiran PERADI. KKAI kemudian menghimpun puluhan ribu advokat untuk diverifikasi.
Baca Juga:
Peradi: Kiprah, Tugas, dan Fungsinya
Setelah melalui proses verifikasi, sebanyak 15.489 advokat dari 16.257 pemohon dinyatakan memenuhi persyaratan.
Para advokat ini sebelumnya terdaftar sebagai anggota di berbagai organisasi advokat profesional yang tergabung dalam KKAI.
Dikutip dari laman peradi.or.id., Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Pasal 32 Ayat (4) tentang Advokat menyatakan bahwa organisasi advokat harus dibentuk dalam waktu paling lambat dua tahun setelah UU tersebut diundangkan.
Karenanya, puluhan ribu advokat seluruh Indonesia yang telah terverifikasi sepakat membentuk Peradi pada 21 Desember 2004 atau 20 bulan setelah UU tentang Advokat diundangkan.
Lalu pada tanggal 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, digelar acara perkenalan PERADI yang melibatkan 600 advokat dari seluruh Indonesia.
Peradi berperan sangat penting untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Dalam Pasal 6 Akta Pernyataan Pendirian Peradi Nomor 30 disebutkan bahwa peran Peradi adalah:
Menunjang advokat dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental advokat di depan hukum dalam rangka penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Menunjang advokat dalam menjalankan tugas profesinya di bidang konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, dalam rangka pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional, khususnya di bidang administrasi, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Sebagai organisasi advokat, Peradi memiliki beberapa fungsi, di antaranya: Menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat.
Menyelenggarakan ujian advokat. Mengangkat advokat yang telah lulus ujian advokat.
Menyusun Kode Etik Advokat Indonesia.
Melakukan pengawasan terhadap advokat. Memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi advokat. Menentukan jenis sanksi dan tingkat pelanggaran advokat yang dapat dikenakan sanksi.
Struktur Organisasi Peradi Ketua Umum Peradi pertama adalah Otto Hasibuan, sedangkan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) ditunjuklah Harry Ponto.
Selanjutnya, jabatan Harry Ponto sebagai Sekjen Peradi digantikan oleh Hasanuddin Nasution.
Kiprah Peradi dalam dinamika hukum positif Indonesia cukup signifikan.
Belum lama ini, DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menyampaikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata) pada Komisi III DPR.
Sedikitnya, Peradi memberikan 49 masukan terkait revisi KUHPerdata itu.
Sekretaris Jenderal DPN Peradi, Hermansyah Dulaimi, menyampaikan, pihaknya sangat menunggu kesempatan itu karena sudah mendapat banyak pertanyaan soal hukum acara perdata yang sudah tidak relevan.
"Kita sudah 75 tahun merdeka tapi sampai sekarang belum ada Hukum Acara Perdata buatan sendiri," ungkapnya.
Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) DKI Jakarta, Rivai Kusumanegara yang juga bertindak selaku Juru Bicara (Jubir) DPN Peradi dalam RDPU ini, lantas menyampaikan 49 masukan secara detail atas RUU Hukum Acara Perdata yang merupakan inisiatif pemerintah tersebut.
Dari 49 catatan masukan DPN Peradi kepada Komisi III DPR tersebut, lanjut Rivai, ada 5 hal penting yang menjadi perhatian pihaknya.
Pertama, panggilan sidang melalui Jurusita dan delegasi Pengadilan Negeri (PN) lain agar diubah dengan pos tercatat dan tanpa delegasi seperti yang telah berjalan di PTUN dan Pengadilan Agama.
Menurutnya, cara delegasi memperlama dan rumit. Begitu juga penyampaian oleh jurusita berdampak pada besarnya biaya perkara, terutama di daerah-daerah yang wilayah hukum PN-nya meliputi beberapa kabupaten.
"Dalam pengamatan kami, cara pemanggilan dengan juru sita ini membuat biaya sangat mahal. Kalau di Jakarta, biaya perkara cukup Rp 5 juta, tapi di Kalteng atau Papua itu bisa mencapai Rp 25 juta jika para pihaknya banyak," kata Rivai Kusumanegara .
Mahalnya biaya tersebut karena luasnya wilayah hukum suatu PN yang membawahi beberapa kabupaten.
Penyampaian secara langsung dan jauhnya jarak, membuat juru sita harus menyewa mobil dan bahkan sampai menginap.
Padahal, hari ini jasa PT Pos Indonesia sudah sangat baik, berbeda dengan zaman lahirnya hukum acara warisan Belanda.
Kedua, pelelangan oleh PN selama ini kurang diminati masyarakat karena pemenang lelang masih harus mengeluarkan biaya pengosongan dengan kemungkinan gagal akibat gangguan di lapangan.
"Kami sarankan pengosongan dilakukan sebelum lelang agar objek yang dibeli clear, sehingga minat masyarakat meningkat," ujar Rivai Kusumanegara .
Ketiga, tahapan upaya hukum agar dikurangi dan tidak seperti sekarang hingga empat tahap. Masyarakat lelah menunggu sengketanya selesai dan berdampak pada biaya dan waktu.
Banyak negara hanya mengenal satu kali upaya hukum dan sebenarnya Indonesia sudah mengadopsinya dalam perkara PHI, kepailitan, HAKI, dan pembatalan KTUN lokal. Alasan Peninjauan Kembali (PK) juga agar dibatasi sebatas adanya novum dan pertentangan antarputusan.
Keempat, eksekusi sebaiknya dilakukan tanpa delegasi melalui PN lain, karena selain lama dan rumit juga jika terdapat perlawanan akan ditangani PN delegasi, sedang berkas perkara pokok berada di PN pemutus. Penyederhanaan sistem eksekusi ini diharapkan dapat menaikan indeks EDB Indonesia.
"Kelima, e-court belum diakomodir RUU ini dan model panggilan dengan penempelan pada papan pengumuman PN dan kantor Bupati bisa digantikan dengan penayangan pada website PN," kata Rivai Kusumanegara .
Atas 49 masukan ini, Komisi III DPR termasuk para wakil dari fraksi-fraksi partai politik menyampaikan apresiasi dan meminta DPN Peradi terus mengikuti proses dan memberikan masukan dalam pembahasan RUU Hukum Acara Perdata ini. [dny]