WahanaNews Babel | Sebagai perwakilan negara berkembang, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, mendorong pentingnya kerja sama seluruh negara untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim dalam kebijakan ekonomi dan keuangan di negara masing-masing.
Hal ini disampaikan Sri Mulyani pada pertemuan Koalisi Menteri Keuangan Dunia untuk Aksi Iklim, Selasa (12/10/2021).
Baca Juga:
Tampilkan Liturgi 12 Bahasa, Pemuda Batak Bersatu Jakbar Gelar Perayaan Natal 2024 di HKBP Kalideres pada 6 Desember
Adapun, Indonesia dalam hal ini Menteri Sri Mulyani mengetuai kelompok negara berkembang pada koalisi yang menjadi bagian dari rangkaian Pertemuan Tahunan Kelompok Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional 2021.
“Pendekatan multilateral sangat penting agar upaya seluruh negara terkait perubahan iklim bisa bersatu sehingga memberi pesan yang kuat mengenai pentingnya mengarusutamakan iklim ke dalam kebijakan ekonomi dan keuangan, serta mendesain transisi hijau yang adil dan terjangkau untuk setiap negara. Koalisi berperan penting dan nyata karena memfasilitasi komunikasi, pembagian pengalaman antaranggota termasuk dalam pertemuan hari ini,” kata Sri Mulyani, seperti yang dikutip dari siaran resmi, Kamis (14/10/2021).
Koalisi itu mengakui pentingnya aksi iklim yang berarti dan perlunya perubahan sistemik dalam kebijakan ekonomi dan keuangan.
Baca Juga:
Kemkomdigi Blokir Lebih dari 49 Ribu Situs Judi Online dalam Lima Hari
Perubahan iklim merupakan ancaman bagi umat manusia.
Mengarusutamakan perubahan iklim ke dalam kebijakan diharapkan bisa menyelamatkan bumi dan mendorong pertumbuhan yang lebih baik dan berkualitas.
Dalam hal ini, Kementerian Keuangan pada khususnya memiliki peran penting karena memiliki instrumen untuk memerangi perubahan iklim dan memfasilitasi transisi hijau yang adil dan terjangkau.
Kebijakan untuk mendukung transisi yang adil dan terjangkau sangat penting agar aksi iklim dapat berdampak nyata pada berbagai aspek.
Yaitu pertumbuhan yang berkelanjutan; stabilitas keuangan dan fiskal; peningkatkan lapangan kerja; dan pengurangan kesenjangan.
Untuk negara berkembang, transisi menuju ekonomi hijau dapat mendorong keberhasilan pembangunan.
Perspektif ini tercermin dalam program kerja tiap negara anggota Koalisi Menkeu yang mengacu pada enam Prinsip Helsinki sebagai prinsip Koalisi.
Pertama, menyelaraskan kebijakan dengan Persetujuan Paris.
Kedua, berbagi pengalaman dan keahlian.
Ketiga, mempromosikan nilai ekonomi karbon.
Keempat, mengarusutamakan iklim dengan kebijakan ekonomi.
Kelima, memobilisasi pembiayaan iklim.
Keenam, terlibat dalam implementasi Nationally Determined Contribution (NDC).
Salah satu penerapan Prinsip Helsinki, terkait pengarusutamaan iklim dengan kebijakan ekonomi adalah penandaan anggaran iklim (climate budget tagging).
Saat ini, terdapat 19 pemerintah nasional dan subnasional yang telah mengembangkan metodologi penandaan anggaran iklim di dunia, termasuk Indonesia.
Indonesia telah memulai penandaan anggaran sejak 2016 di tingkat nasional dan telah mulai menerapkan penandaan anggaran di 11 pemerintah daerah.
Selain penandanaan anggaran, upaya yang dilakukan oleh banyak negara dalam memerangi perubahan iklim adalah melalui inisiatif keuangan berkelanjutan.
Saat ini, terdapat 185 inisiatif keuangan berkelanjutan di seluruh dunia.
Di samping itu, komunitas global seperti G20, juga telah membuat kemajuan dengan membentuk Kelompok Kerja Keuangan Berkelanjutan G20, di mana peta jalan Keuangan Berkelanjutan disusun tahun ini dan diskusi terkait isu ini akan dibawa dalam Presidensi Indonesia 2022.
Namun demikian, masih terdapat tantangan dalam mencapai keuangan berkelanjutan di dunia, karena saat ini hanya ada sepertiga dari 185 inisiatif keuangan berkelanjutan yang menggunakan metodologi akuntabel.
Sehingga kepatuhan dampak iklim secara nyata belum dapat diukur secara akurat.
Untuk itu, dibutuhkan kerja sama dan pendekatan multilateral agar setiap upaya penanganan perubahan iklim di dunia dapat optimal.
Penguatan kapasitas seperti alat pengukuran, metodologi dan akuntabilitas membutuhkan upaya kolektif agar upaya yang telah dilakukan membawa dampak yang lebih besar.
Upaya lain yang dilakukan dalam penanganan iklim yaitu penerapan pajak karbon.
Saat ini, terdapat 64 instrumen harga karbon yang telah berjalan dan tiga dijadwalkan untuk diimplementasikan.
Di Indonesia, pemerintah baru saja menetapkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang salah satunya mengenalkan pajak karbon.
Implementasi pajak karbon mengukuhkan posisi Indonesia sebagai salah satu dari sedikit negara yang memiliki skema pajak karbon di dunia.
Pajak karbon ini juga merupakan bukti komitmen Indonesia yang semakin serius dalam menangani risiko perubahan iklim.
Penerapan pajak karbon merupakan salah satu upaya untuk mendorong transisi hijau dan mencapai komitmen penurunan emisi Indonesia yang tertuang dalam dokumen NDC pada Persetujuan Paris 2016.
Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri (business as usual) dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Selain itu, komitmen untuk mendorong transisi hijau juga dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Indonesia juga telah memiliki roadmap untuk mencapai net zero emission pada 2060.
Penerapan pajak karbon Indonesia mengedepankan prinsip adil dan terjangkau dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah akan memperhatikan transisi yang tepat dalam penerapan pajak karbon, dengan melihat momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Implementasi pajak karbon akan dilakukan pada 1 April 2022 di sektor energi yaitu PLTU batubara dengan skema batas emisi atau cap and tax.
Selain pajak karbon, upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi hijau yaitu pemberian insentif pajak untuk sektor energi terbarukan, subsidi bagi sektor energi dan transportasi yang lebih ramah lingkungan, dan penandaan anggaran.
Dari sisi pembiayaan, pemerintah Indonesia melakukan skema pembiayaan inovatif seperti menerbitkan Green Sukuk yang telah ada sejak 2018.
Di samping itu, untuk memperoleh akses pendanaan internasional, Indonesia bekerjasama dengan Green Climate Fund dan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Untuk menarik lebih banyak pembiayaan swasta atau non-APBN, Indonesia tengah mengembangkan kerangka keuangan berkelanjutan (sustainable finance) berupa taksonomi hijau di tingkat nasional.
Dalam pertemuan Koalisi Menkeu, negara-negara anggota juga mengesahkan Pernyataan Bersama Menteri dan Laporan Tahunan 2021.
Para Menkeu melalui pernyataan bersama berharap agar anggota Koalisi dapat bekerja sama dengan mitra kelembagaan dan pemangku kepentingan untuk lebih memahami tantangan teknis dan politik dalam menerapkan Prinsip Helsinki.
Para Menkeu juga akan berkontribusi pada COP26 pada November 2021.
Selain melakukan diskusi, Koalisi juga menyambut lima negara anggota baru yaitu, Estonia, Hungaria, Peru, Slovakia, dan Ukraina yang bergabung dalam Koalisi sejak Pertemuan Tingkat Menteri pada April 2021.
Saat ini, terdapat 65 negara anggota Koalisi yang mewakili wilayah geografis dengan tingkat perkembangan ekonomi yang berbeda.
Secara kolektif, negara anggota Koalisi menyumbang sekitar 39 persen dari emisi gas rumah kaca global dan 63 persen dari PDB global (berdasarkan data 2018). [non]