WahanaNews-Babel | Varian Delta yang pertama kali diidentifikasi di India Desember 2020, diidentifikasi sebagai biang kerok lonjakan kasus COVID-19 di semua negara. Hingga kini, varian Delta masih mendominasi dunia dan menjadi virus SARS-CoV-2 yang paling mengkhawatirkan.
Masuk kategori variant of concern (VOC) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), varian Delta terbukti memiliki penularan berkali-kali lebih cepat, memicu gejala parah, hingga berdampak pada manfaat vaksin dan perawatan terapi COVID-19.
Baca Juga:
Korupsi APD Covid Negara Rugi Rp24 Miliar, Eks Kadinkes Sumut Divonis 10 Tahun Bui
"Varian Delta punya kekuatan super dalam penularan," jelas Shane Crotty, ahli virus di La Jolla Institute for Immunology di San Diego.
Varian Delta menurut Pusat dan Pengendalian Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) lebih mungkin membuat mereka yang terpapar berakhir dirawat di rumah sakit. Varian Delta juga membuat pasien mengalami gejala dua hingga tiga hari lebih cepat dari virus Corona sebelumnya, sehingga kekebalan tubuh hanya memiliki sedikit waktu untuk meningkatkan pertahanan.
Orang yang terinfeksi Delta membawa virus sekitar 1.200 kali lebih banyak di hidung mereka dibandingkan dengan versi asli virus Corona. Jumlah virus pada individu yang divaksinasi dan terinfeksi Delta setara dengan mereka yang tidak divaksinasi, dan keduanya dapat menularkan virus ke orang lain.
Baca Juga:
Kasus Korupsi APD Covid-19: Mantan Kadinkes Sumut Dituntut 20 Tahun Penjara
Namun, pada orang yang divaksinasi, jumlah virus turun lebih cepat, sehingga kemungkinan mereka menyebarkan virus relatif lebih singkat.
Menurut WHO, Delta membentuk 99,5 persen dari semua urutan genom yang dilaporkan ke database publik dan telah 'mengungguli' varian lain di sebagian besar negara.
Pengecualian utama adalah Amerika Selatan, di mana Delta telah menyebar lebih bertahap, dan varian lain yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman global, terutama Gamma, Lambda dan Mu masih berkontribusi pada proporsi signifikan dari kasus yang dilaporkan.