WahanaNews-Babel | Terdapat beragam sumber adiksi pada teknologi digital, mulai dari media sosial hingga belanja daring.
Ilmuwan mulai dapat mengungkap akar persoalan kondisi kecanduan di era digital untuk dapat mengatasinya.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Bahkan menemukan prospek untuk merekayasa mekanisme candu supaya dapat diarahkan pada aktivitas positif.
Candu yang dihadirkan teknologi digital didefinisikan oleh Adam Alter dalam bukunya, Irresistible: the rise of addictive technology and the business of keeping us hooked (2017), sebagai ketergantungan yang merugikan diri dan terasa sulit untuk hidup tanpa melakukannya.
Melihat maknanya, istilah candu masih identik dengan ketergantungan.
Baca Juga:
Polsek Bagan Sinembah Gelar Kegiatan Launching Gugus Tugas Polri dan Ketapang.
Definisi ini serupa dengan makna yang sudah dikenal masyarakat.
Bedanya, di era teknologi digital, ketergantungan yang dimaksud mengarah kepada peralatan dan sistem teknologi yang digunakan.
Sebelum zaman digital, ragam candu lebih mudah dikenali, di antaranya rokok, minuman keras, dan narkotika.
Namun, dengan kehadiran teknologi digital, sumber candu menjadi sangat beragam dan dapat merasuki seseorang tanpa disadari.
Kondisi kecanduan bermula dari kebiasaan mengonsumsi atau mengakses suatu produk.
Salah satunya mengakses informasi yang didistribusikan melalui jaringan internet.
Dalam lima tahun terakhir, masyarakat Indonesia menghabiskan hampir 9 jam dalam sehari untuk mengakses berbagai konten digital.
Sekitar 40 persen dari waktu tersebut dihabiskan untuk mengakses media sosial.
Aktivitas warganet Indonesia terbilang tinggi jika disandingkan dengan rata-rata aktivitas warganet dunia.
Data dari Digital 2021: Global Overview Report We Are Sosial dan Hootsuite menunjukkan durasi mengakses internet penduduk dunia mencapai 7 jam per hari, di dalamnya termasuk 2,5 jam mengakses media sosial.
Tingginya aktivitas seseorang mengakses informasi dalam waktu lama akan menimbulkan sebuah kebiasaan baru.
James Clear, penulis buku Atomic Habits (2018), menyebutkan bahwa setidaknya seseorang membutuhkan 66 hari untuk membentuk kebiasaan baru dalam ritme kehidupannya.
Dalam masa peralihan kebiasaan tentu ada proses pengenalan yang terkadang membuat tidak nyaman.
Namun, apabila sudah mencapai pada fase kebiasaan, akan timbul rasa nyaman untuk tetap pada bentuk aktivitas rutin.
Sayangnya, kebiasaan yang kebablasan dan mendominasi aktivitas sehari-hari dapat berubah wujud menjadi obsesi dan menimbulkan kecanduan.
Adam Alter menyatakan, di era digital bermunculan beragam aktivitas baru yang dapat menjelma menjadi candu bagi masyarakat.
Belanja daring, bermain gim, menonton serial di platform video on demand, menggulir atau scrolling media sosial, pornografi, hingga nomophobia atau muncul rasa gelisah ketika tidak membuka ponsel.
Sumber candu tidak hanya pada konten, tetapi juga dari gawai atau perangkat digital.
Merancang Candu
Bukan suatu kebetulan jika teknologi digital menjadi sumber candu baru.
Teknologi ini sudah dirancang sedemikian rupa untuk menarik orang supaya terus menggunakan dan membeli produk.
Salah satu pendiri Instagram, Greg Hochmuth, menyadari bahwa telah membangun sebuah mesin yang menciptakan kecanduan.
Pengguna Instagram akan terikat dengan aktivitas scrolling yang tak berujung.
Steve Jobs sebagai pencipta produk Apple menyatakan bahwa ia tidak memberikan iPad kepada anak-anaknya karena paham bahwa perangkat tersebut dirancang untuk menggoda dan menciptakan ketergantungan pada penggunanya.
iPad sejak diperkenalkan pada 2010 sebagai bentuk baru gawai yang berada di antara ponsel pintar dan komputer jinjing banyak menarik minat konsumen.
Bahkan, berbagai produsen gawai turut membuat tablet serupa dengan produk Apple.
Dari aspek psikologis, kecanduan yang timbul dari perangkat dan media digital muncul dari manfaat yang diperoleh pengguna.
Beberapa manfaatnya, antara lain, relasi dan dukungan sosial, dukungan mental, serta efektivitas dalam berkegiatan dan berkomunikasi sehari-hari.
Komunitas warga internet yang bersifat maya menciptakan alternatif representasi kondisi sosial yang biasanya lebih baik dibanding dunia nyata.
Hal ini menimbulkan kepuasan semu dan relatif mudah diwujudkan.
Selain aspek sosial, berbagai kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan teknologi digital juga menimbulkan candu.
Salah satunya pada aktivitas berbelanja daring.
Pada era sebelumnya, penggila belanja atau shopaholic harus berebut di acara diskon di pusat perbelanjaan.
Kini, hanya perlu gawai dan akses internet untuk dapat membeli barang incaran.
Ditambah lagi dengan acara flash sale atau penjualan singkat yang secara mental mendesak orang untuk segera membeli barang.
Enam Komponen
Lebih jauh lagi Adam Alter menjabarkan ada enam aspek yang memicu timbulnya candu di era digital.
Pertama, menampilkan citra atau gambaran ideal yang sulit digapai di dunia nyata.
Hal ini menjadikan media digital sebagai tempat ”cuci mata” yang selalu menggoda untuk diikuti.
Kedua, adanya harapan untuk mendapatkan tanggapan atau komentar positif dari sesama pengguna media digital, khususnya media sosial.
Hal ini dialami pengguna media sosial yang berorientasi pada like atau komentar terhadap unggahannya.
Ketika gagal meraih hal tersebut, ia akan terus berusaha mencari perhatian hingga mendapat kepuasan.
Ketiga, ingin mengikuti kemajuan dan perkembangan teknologi.
Konsumen diajak untuk terus mengikuti perkembangan teknologi digital yang terbaru.
Biasanya diberi pemutakhiran perangkat secara bertahap.
Dari situ timbul rasa ingin selalu mendapatkan perangkat keluaran terbaru.
Faktor yang keempat ialah tugas-tugas atau aktivitas digital yang secara bertahap akan semakin sulit, kondisi ini biasanya terdapat dalam gim.
Pada setiap level tingkat kesulitannya bertambah sehingga muncul rasa ingin terus meningkatkan kemampuan dan menyelesaikan permainan.
Kelima, adanya dorongan untuk segera menanggapi notifikasi pesan, padahal masih bisa ditunda.
Misalnya, ketika muncul notifikasi di ponsel pintar, ketika gawai berbunyi, pengguna akan secara reflek membukanya.
Saat ini, berbagai media sosial dan layanan digital berlomba-lomba memanggil pengguna melalui notifikasi.
Keenam, adanya hubungan sosial yang erat di dunia maya sehingga orang terdorong untuk selalu berinteraksi setiap saat.
Misalnya, pada suatu komunitas hobi atau minat tertentu, ada juga relasi antarpemain gim daring yang menghabiskan waktu berjam-jam bermain bersama.
Setiap bentuk media dan gawai memiliki satu atau lebih faktor yang mendorong penggunanya mengalami kecanduan.
Semakin beragam faktor yang dimiliki, pengguna akan lebih mudah tertarik dan lebih sulit untuk lepas dari candu tersebut.
Mengelola Candu
Di balik sisi negatifnya, model rancangan dan komponen pendorong candu terhadap teknologi digital dapat diarahkan kepada hal-hal yang positif.
Sebagai manusia yang hidup di era serba digital, tidak mungkin menghindari teknologi ini sepenuhnya.
Hal yang bisa dilakukan adalah dengan mengelola kecanduan.
Harus diakui bahwa teknologi digital memberi banyak manfaat kepada masyarakat.
Maka, dengan menyingkirkannya justru akan timbul kerugian.
Salah satu siasat yang ditawarkan Adam Alter untuk mengelola candu ialah melakukan rekayasa terhadap interaksi dengan perangkat teknologi.
Misalnya, dengan meletakkan ponsel pintar di suatu tempat yang jauh dari tempat tidur supaya timbul rasa enggan untuk meraihnya.
Kemudian, bisa juga menerapkan jadwal aktif bermedia digital dan memberitahukan kepada kerabat dan partner kerja tentang hal ini supaya tidak timbul miskomunikasi.
Atau, dengan cara yang sedikit lebih rumit, tetapi menyenangkan, salah satunya dengan gamification atau membuat suatu aturan main tentang upaya dan imbalan.
Ketika berhasil menahan diri untuk membuka gawai, pengguna akan diberi imbalan.
Hal ini bisa diterapkan kepada pengguna gawai berusia anak maupun dewasa.
Pengelolaan ketergantungan juga dapat dilakukan secara komunal, seperti berolahraga bersama atau merancang kegiatan bersama dengan teman-teman sekantor atau lingkungan rumah.
Relasi manusia dengan teknologi digital memang sudah pada tahap ketergantungan.
Namun, seberapa tergantungnya pengguna terhadap alat dapat dikelola sendiri oleh masing-masing pribadi.
Diharapkan penggunalah yang mengatur fungsi perangkat digital, bukannya pengguna yang diperalat oleh perangkat. [non]
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Mengatasi Beragam Candu di Era Digital”. Klik untuk baca: Mengatasi Beragam Candu di Era Digital - Kompas.id.